Bunda dan Pergaulanku
Metro, 16 Agustus 2014
Asap tungku membuat hidungku sakit, mata menjadi pedih, dada pun sesak
karena ini mengganggu pernapasan.
Bunda menyuruhku menemaninya masak masakan khas Sumatera Utara, yaitu Rendang
Padang. Rendang ini berbeda dari rendang yang kebanyakan di jual di warteg,
rumah makan atau restoran pada umumnya, yang mengklaim bahwa rendang mereka
adalah Rendang asli Padang, nama hanyalah nama, kalau masalah rasa sangat jauh
berbeda. Rendang Jawa ketika dimasak biasanya masih disisakan kuahnya, tapi
kalau Rendang Padang dimasak hingga warnanya cokelat gelap hampir hitam, bukan
gosong loh,dan di jamin ini rendang yang nikmat sekali!
Bunda memang sangat jago memasak, dan bukan hanya aku yang mengakuinya,
tapi juga teman-temanku, bahkan orang-orang sedesaku mengakui kehebatannya.
Sembari menemani Bunda memasak, beliau banyak sekali bercerita tentang masa
lalunya, tentang semua hal yang telah ia lewati, asam pahit manis kecut dan
hambarnya kehidupan, meskipun kebanyakan bercerita hal-hal tak menyenangkan,
namun tetap saja disisipi bumbu-bumbu canda menggelikan yang membuat ku
lagi-lagi terbahak setiap kali berbicara dengan beliau.
Bunda, tak ada seorang pun yang
sanggup menahan ledakan tawa mereka saat Bunda sudah mengeluarkan suaranya, diam saja
pun sudah
lucu. Tapi jangan ditanya kalau Bunda sudah ngomel, ngambek, sulit sekali
diredam, terutama saat banyak sekali masalah yang datang menghampiri, dan
jangan lupa, Bunda hanya sendiri, tak ada lagi seorang yang bisa dibuatnya
bersandar untuk menguatkannya saat segudang masalah itu datang. Biasanya aku
hanya diam saat Bunda sedang dirundung kesedihan seperti itu, ingin rasanya aku
mencabut kesedihannya, tapi apa dayaku..
Mungkin itu lah
alasan mengapa Bunda selalu melarang aku dan adik-adik untuk keluar, walau
untuk sekedar kerja kelompok. Bunda tak mau kehilangan orang-orang yang di
kasihinya lagi, Bunda tak mau kami meninggalkannya. Kadang aku juga sering merasa tidak bebas sebebas-bebasnya dalam melakukan
apapun bahkan saat aku sudah kuliah dan kost sekalipun. Pergi ke mana-mana harus minta izin, kalau Bunda
bilang tidak, ya aku tak akan pergi, karena memang pada dasarnya umurku menurutnya belum
cukup untuk berada diluar kendalinya. Dan aku juga masih merupakan tanggung
jawabnya juga karena aku belum mempunyai seorang pendamping yang bisa mengambil alih tanggung
jawab Bunda atas diriku dari tanggannya.
Bunda perkasa, selalu ada saat aku membutuhkannya, saat aku sakit atau
sedang patah hati ia dengan cepatnya segera berangkay ke kosanku meski jarak
yang ditempuhnya satu setengah jam perjalanan mengendarai MOTOR. Lalu uangku juga yang
sebentar-sebentar habis, meskipun sesungguhnya ia pun tak ada uang, Bunda rela
berhutang kesana kemari hingga ada uang untuk memberiku. Ada PR kampus pun disisi
ku selalu ada Bunda yang siap membantu. Air mataku benar-benar jatuh saat
kutuliskan bagian ini. Bunda orang yang selalu berada di posisi paling depan
sebagai tamengku untuk menghadapi apapun. Saat mahasiswa-mahasiswa seumuranku sudah bisa
mengambil keputusan dan berdiri pada kaki mereka sendiri, berbeda denganku, aku
tak pernah bisa mengambil keputusanku sendiri, selalu ada campur tangan Bunda
disitu, bukan karena aku penakut, bodoh dan tak megerti apapun, tapi karena
Bunda yang mendidikku begitu sejak dulu. Aku hanya tau
bunda dan sekolahku, aku tak pernah tau dunia luar, karena aku memang tak
pernah di ajarkan untuk itu. Sebenarnya hal ini yang sering kali menghambat
pergaulanku. Ah, tapi biar saja, yang penting Bunda bahagia, karena aku tak mau
mengecewakannya. Masalah bergaul, aku sudah belajar untuk lebih terbuka dengan
lingkunganku, meski agak terlambat, aku akan terus berusaha memperbaikinya.
Yaa..
Bagaimanapun itu.. Tetap, tak ada
satu katapun yang cocok untuk mendeskripsikan betapa sempurnanya IBUNDA ku tercinta. :’)
Komentar
Posting Komentar