JAUH KAU PERGI :')

Metro, 16 Agustus 2014

JAUH KAU PERGI…

Pernah ada rasa cinta
Antara kita kini tinggal kenangan
Ingin kulupakan
Semua tentang dirimu
Namun bayangmu selalu dalam setiap langkahku…

Jauh kau pergi meninggalkan diriku
Di sini aku merindukan dirimu
Ingin kucoba mencari penggantimu
Namun tak lagi kan seperti dirimu… oh kekasiiihhh..
(Lagu “Jauh”)


Hemmm….

16 Agustus 2014. Sedih benar aku melihat my “galau” sister, terkapar suruk dalam banjir air mata karena hari ini tepat 2 tahun ia kehilangan kekasihnya tercintanya yang super manis, manis banget

(Diriwayatkan saking manisnya bukan hanya cewek-cewek tapi semut-semut pada ngerubung)

“Sakit, ya..?” bisikku sambil mengelus rambutnya.

My sister mengangguk, “Hem emmm…”

“Oke, nangis teruslah, ya, itu bisa melegakan sakit dihatimu….”

“Iya, hiks.. hiks..”

Ya, tahu sih aku, sakitnya memang nggak akan hilang dengan deraian air matanya, mau sederas apapun itu. Meski pula kutahu air mata sering sekali menjadi satu-satunya tumpuan hati yang tak bisa lagi memilih lainnya kala kesedihan mendera jiwa. Walau hanya sedikit yang bisa diringankan olehnya.

“Mendingan?” gumamku kemudian.

“Iya, agak longgar dadaku..”

“Banyak?”

My sister menggeleng. “Segini..,” isaknya sambil menyorongkan jempol dan telunjuknya yang dengan amat tipis. Tipis banget! Pertanda kelonggaran yang diraihnya berkat tangisan panjang itu hanya memberikan jelas edikit sekali dari gunungan sesak dadanya.
Betul-betul cussss entah kemana seketika segala senyum dan kekehannya yang amat ceria selama ini.
Ya, saat kita kehilangan seseorang yang amat berharga dalam hidup kita, seketika segalanya tersulap meaningless.

Seseorang yang telah kita masukan ke dalam hati kita sebagai bagian dari denyut jantung kita, desah napas kita, lebar tawa kita, setiap langkah kakikita, bahkan segala angan dan cita-cita kita.
Tapi, siapa yang bisa membantah tangan takdir?

My sister pun begitu sedih saat harus kehilangan kekasih yang amat dipujanya siang malam, pagi sore, shubuh maghrib, barat selatan, utara timur, dalam keadaan sujud ataupun i’tidal. Ia pun lebur remuk dihantam badai kehilangan itu.

Manusia dalam kefanaannya sungguh tak pernah memiliki kuasa apa pun. Kebersamaan tak mungkin seiring diperjalanan bersama perpisahan. Dan, siapakah gerangan yang mampu melerai kunjungan perpisahan dalam ketakberdayaan dan kefanaannya?

Nggak ada!

Bahwa sakit yang menguliti hidupmu akibat perpisahan, bukan hanya tubuhmu, tapi terutama jiwamu, jelas takakan bisa dihilangkan layaknya kita melupakan sebuah mimpi yang hadir dalam lelap. Tidak bisa!

Perlu waktu.

Semua dari kita selalu membutuhkan waktu yang tidak secuil untuk mendorong diri sendiri mampu merelakan kepergian seseorang. Boleh saja akal sehat kita berkata bahwa kita takkan pernah mampu melawan takdir, tapi hati takkan pernah mudah untuk mencapai posisi ikhlas, rela, legawa atas sentuhan takdir itu.

Aku tahu benar saat my sister berkali-kali bilang, “Aku sudah ikhlas kok, ikhlas kok, ikhlas kok…” bahwa sejatinya ia belum pernah sungguh-sungguh bisa ikhlas merelakan kepergian kekasihnya itu. Bahwa kan selalu saja ada setangkup hati yang cuil tercabik luka perpisahan itu, yang itu bisa bertahan selamanya, seumur hidup, atau sekian tahun dalam hidupnya. Hal itu niscaya dialami semua orang.

“Apa kamu siap untuk mencari penggantinya?” Tanyaku kepada my sister.

“InsyaAllah, siap!”

Aku meringis dalam hati. Ah,bohong banget lah kalau lisan kita bisa begitu tegas menjawab “aku siap!” untuk melupakan seseorang yang teramat kita cintai itu.

Mengapa bohong?

Sejatinya, ini bukan tentang siap atau tidak, kan? Ini sepenuhnya tentang bagaimana kita akan memperlakukan hidup kita sendiri setelah ditinggal pergi seseorang itu.

Air mata atau jeritan adalah penyuram matahari dalam hidup kita. Suramnya matahari itu jelas akan berdampak terhadap suramnya cara pandang kita dalam menempuh sisa kehidupan yang ada. Tidak semangat. Hopeless!
Itu akibat langsung suramnya matahari hidup kita. Sampai kapan mau begitu?

“Ada jutaan lelaki di Indonesia,pasti ada yang sebaik bahkan lebih baik dari dia buat aku!” kata my sister suatu hari.
Hehe, aku bangga mendengar kalimatnya ini, meski kutahu tak sepenuhnya bisa dijadikan jaminan bahwa ia telah mampu melepaskan diri dari kisah masa lalunya. At least, itu bisa dijadikan indikasi bahwa ia mau move on dari gejolak kesedihannya.
Betul, abaikan saja dulu soal ikhlas nggak ikhlas untuk melepaskan kepergiannya. Yang terpenting sebagai first step ialah memproklamirkan dulu saja bahwa “Aku nggak mau terjebak dalam kenangan!” atau “Life must go on!” atau dalam bahasa my sister “Ada jutaan lelaki di Indonesia, pasti ada yang sebaik bahkan lebih baik dari dia buataku!”

Bahwa setelah proklamasi kemerdekaan itu kok kita kemudian kembali jatuh dalam kenangan, hal itu hanya akan bisa diredam oleh laju waktu. Semakin lama kamu menempuh sebuah kehilangan, maka akan semakin luruh pulalah rasa sakit itu. Meski takkan pernah sungguh-sungguh bisa dihilangkan. Ia memang akan terus menyertai kita sepanjang hidup kita. Sesekali ia akan timbul ke permukaan, kembali menyapamu dan membuatmu menangis lagi. Biarkan itu berjalan alamiah, karena kita adalah manusia yang takkan pernah bisa lari dari rasa terluka, kenangan dan impian yang tak selalu bisa dipeluk selamanya.

So, karenanya, ini sama sekali bukan tentang melupakan, sebab ia takkan pernah bisa dilupakan. Ini tentang hidup kita yang terus bergerak kedepan, tidak ke belakang.

Aku tersenyum diam-diam saat my sister mulai rajin curhat tentang gebetan barunya, M. Furqan H. Hoho, matahariku itu mulai bersinar kembali dinyalakan obor yang namanya MFH, laki-laki idola para wanita karena kealiman dan kecerdasannya.

Yaa.. siapapun dia, laju waktu telah membangkitkan kembali matahari di hati my sister.

Dan, memang hanya akan seperti inilah kemampuan setiap dari kita mengobati luka hati akibat kehilangan seseorang yang amat kita cintai dalam hidup kita…



(ROGOH AH...)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Backstubbing? Senyumin aja :)

Demo Ahok, Permainan Politik!

Ekspedisi Ghost Busters di RS. Kartika