MERDEKA atau MATI!!! Atau KORUPSI sampai MATI?!



Metro, 17 Agustus 2014


Sebenarnya mood dan semangat menulisku sudah musnah karena terhambat berbagai macam pekerjaan-pekerjaan rumahku yang tak kunjung beres, dari shubuh hingga sekarang. Tapi karena semangat nasionalisme ku yang setinggi Mount Everest yang ak pun nggak tau letaknya dimana itu, ku bangun lagi mood baik ku agar aku bisa menyampaikan kepada dunia bahwa aku mencintai negeri ku Indonesia! HAPPY BIRTHDAY ke-69 INDONESIA!
DIRGAHAYU BANGSA KU, TANAH AIR KU, TUMPAH DARAH KU, I LOVE YOU!!!
Semangat “45 lah yang mendorongku untuk ikut merasakan bagaimana sulitnya para pejuang-pejuang negeri ini mengusir penjajah-penjajah kolonial gila, sinting, stress dan parasit kadaluarsa macam Belanda. 3,5 abad bukan waktu yang sebentar untuk kita menjadi bulan-bulanan para kompeni yang tak berperikemanusiaan. Pertumpahan darah terjadi di berbagai belahan negeri kita ini, ribuan bahkan jutaan manusia menjadi korban, mempertaruhkan jiwa, raga, harta bahkan nyawa demi merebut kemerdekaan. MERDEKA atau MATI! Itulah pekikkan-pekikkan semangat penuh darah dan air mata untuk memproklamasikan kemerdekaan INDONESIA!
Dan akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945, 69 tahun silam, kita berhasil mengibarkan bendera kebangsaan SANG SAKA MERAH PUTIH di tanah air kita. Alhamdulillah yaa.. Sesuatu yaa.. Hiks.. :’)
Pengorbanan yang tidak boleh kita lupakan hingga akhir hayat kita! Para pejuang telah menyerahkan APAPUN yang mereka miliki untuk melindungi anak cucunya di masa depan supaya tidak kesusahan seperti mereka. Anak cucu bangsa yang diharapkan bisa mengabdi dengan sungguh-sungguh untuk kemakmuran negeri ini. Nyatanya, setelah kemerdekaan pun kita masih merasa terjajah, lantaran penjajahnya adalah anak cucu negeri kita sendiri. LUPAKAN dulu soal negara-negara asing yang membodohi kita atas tanah subur yang kita miliki, hutan, flora dan fauna, minyak bumi, segala hasil tambang, serta seluruh kekayaan alam lain yang tersebar diseluruh pelosok negeri ini yang mereka kuasai, semua tahu bahwa sebagaian besar sumber daya alam Indonesia telah dikuasai negara asing, tapi bukan itu masalah terbesar negeri ini, melainkan para PENJAJAH DOMESTIK, yaitu DIRI KITA SENDIRI.
Sehingga sekarang ini bukannya semangat MERDEKA atau MATI yang dipekik-kan, melainkan KORUPSI atau MATI!!! Perjuangan yang dilakukan saat ini bukannya berjuang mengabisi penjajah, melainkan perjuangan menghabisi uang rakyat! Perjuangan untuk memperkaya diri sendiri, perjuangan menghabiskan makanan yang saking terlalu banyaknya hingga perut buncit penuh ulat!
Seminggu sebelum hari ini, lingkungan ku menyuruh semua masyarakatnya memasang bendera merah putih di depan rumah masing-masing untuk memperingati 17-an. Lalu nenek menyuruh aku dan adik-adik untuk membantunya memasang bendera tersebut. Kami yang sibuk dengan gadget kami masing-masing, dengan ogah-ogahan bangkit untuk membantu nenek memasang bendera.
Nenek ku menangis saat bendera merah putih itu telah berkibar. Kala itu aku tak terlalu mendengar gumaman nenekku, karena suaranya terlalu lirih. Dan betapa tertohok rasanya saat aku mendekatinya dan mendapatinya berlinang air mata sembari menyanyikan lagu kebangsaan INDONESIA RAYA sambil menatap dalam bendera di atasnya. Aku jadi terbayang ketika aku selalu mengeluh saat disuruh mengikuti upacara bendera di sekolah dulu, capek, pegel, takut item, gosong, keringetan. Ampun deh..
Ku ajaknya masuk ke dalam rumah, kami duduk di teras sambil memandangi kibaran Sang Merah Putih, lalu beliau bercerita tentang bagaimana keadaan pada zaman beliau masih muda dulu. Bersembunyi, itulah yang nenekku lakukan saat rumahnya di masuki para kompeni, kakek buyutku―ayahnya nenek, berjuang bersama kawan-kawannya mengusir para penjajah-penjajah tersebut.
“Dulu jaman ibu (nenekku membahasakan dirinya kepada cucunya ibu, katanya sih biar keliatan awet muda) jaman susah, sekarang mah enak, makan minum jalan-jalan nggak takut kena tembak, kalo dulu kapan aja harus ngumpet. Sekarang malah pas pesta 17-an malah sepi, yang rame malah pasar, Chandra (Chandra adalah salah satu mall di lampung, dan maksudnya memang bukan jalanan lagi yang ramai, melainkan mall-mall dan pasar lantaran mereka sedang gencar-gencarnya memberi diskon!) jarang ada perayaan kayak dulu, kalo dulu jangan tanya, sama kayak lebaran,  jalanan itu sampe penuh karena semua keluar rumah, turun kejalanan, buat kue dan makanan, lomba ini itu, setiap rumah pesta mercon, kembang api, pokoknya ruuaaame pas 17-an ni. Sekarang malah sibuk sama tipi, PS, terus komputernya masing-masing (maksudnya komputer itu yaa semacam gadget-gadget zaman sekarang lah) Makanya ibu pas disuruh pasang bendera sama pak RT, langsung cepet-cepet masang. Kakung dulu malah sebelum rumahnya jadi, yang dibuat malah patok untuk nancep-in tiang bendera itu duluan, tiangnya juga dibuat khusus itu dari besi biar nggak gampang patah (sambil kupandangi tiang bendera besi berwarna putih namun tetap kokoh yang sudah agak berkarat itu, peninggalan almarhum kakekku *terharu), nggak kayak sekarang tiang bendera aja dari bambu elek, kuning, tipis, kecil, ditiup angin langsung miring, roboh, kebawa angin, bendera merah-putihnya juga sampek kumel, nggak rupo warnanya, (aku liat bendera disekeliling rumah tetanggaku ada yang orange-kuning, pink-kuning, karena saking lawasnya).”
Nenekku lalu memandangku, mengeriyitkan dahinya yang keriput dan menatapku tajam, memastikan bahwa aku memahami kata-katanya. Dan aku hanya cengar-cengir merasa berdosa.
Lalu nenekku tiba-tiba menyanyikan lagu 17 Agustus dengan suara khas nenek-nenek tapi jelas artikulasi dan nadanya juga tepat.
“Tujuh belas agustus tahun empat lima..
Itulah hari kemerdekaan kita..
Hari merdeka, nusa dan bangsa..
Hari lahirnya bangsa Indonesia.. Merdeka..
Sekali merdeka tetap merdeka!
Selama hayat masih di kandung badan.
Kita tetap setia.. Tetap sedia.. Mempertahankan Indonesia..
Kita tetap setia.. Tetap sedia.. Membela negara kita....”
Aku bengong “Ibuk masih hafal?”
                Apal-lah.. Coba kiky nyanyi Garuda Pancasila, bisa nggak?”
                “Hehe..” Akhirnya dengan suara fals ku yang amburadul, bahkan lebih amburadul dari rambut keribonya Budi Anduk, aku coba menyanyikan lagi dan memahami bait demi bait kata lagu tersebut. Lalu nenekku ikut menyahut, dan kami bernyanyi bersama.
                “...... rakyat adil makmur sentosa.. Pribadi bangsaku.. Ayo maju.. maju, ayo maju.. maju! Ayo maju.. majuuuu..”
Semoga bangsa kita bisa maju, makmur dan sentosa, jauh dari para penjajah-penjajah domestik maupun mancanegara, seperti yang dimau oleh lagu itu dan para kakek buyut kita. Semoga yaa.. Aamiin.. :’)
DIRGAHAYU INDONESIA-KU!!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Backstubbing? Senyumin aja :)

Demo Ahok, Permainan Politik!

Ekspedisi Ghost Busters di RS. Kartika